SEJARAH
HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Semua hukum
pidana yang berlaku bagi penduduk asli indonesia, adalah hukum pidana adat
walaupun hukum pidana adat ini disana sini sangat dipengaruhi oleh hukum Islam
namun sebagian besar masih bersifat asli. Pentingnya pelajaran hukum pidana
adat itu rupanya akan hanya ada bagi ilmu hukum saja.
Sejarah hukum
tertulis dimulai dengan waktu kedatangan orang Belanda yang pertama di
Indonesia. Secara sosio-historis eksistensi hukum pidana tertulis merupakan hal
yang baru bagi bangsa Indonesia. Kondisi dan bentuk utama indonesia pada waktu
itu adalah hukum pidana adat yang sebagian besar tidak tertulis yang beraneka
ragam dan berlaku di masing-masing kerajaan yang ada di Indonesia.
Maka, hukum yang
berlaku di indonesia waktu itu yang berlaku bagi orang Belanda di Indonesia
sebanyak mungkin disamakan dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda. Asas
konkordansi itu senantiasa dipegang teguh selama orang Belanda itu menguasai
perundang-undangan di Indonesia (pasal 131 ayat (2) sub a. IS). Jadi sejak
permulaan, hukum pidana tertulis yang berlaku bagi orang Belanda dikonkordasi
dengan hukum pidana yang berlaku di negeri Belanda.
Hukum yang
berlaku bagi orang Belanda di pusat-pusat dagang VOC yang pertama disini adalah
hukum yang dijalankan diatas kapal-kapal VOC. Hukum kapal itu terdiri atas dua
bagian : Hukum Belanda yang kuno ditambah dengan asas-asas hukum Romawi. Bagian
terbesar hukum kapal tersebut adalah hukum disiplin. Hukum yang berlaku
didaerah yang dikuasai VOC terdiri dari : (E. Utrecht:1965).
1.
Hukum
Statuta (yang termuat dalam Statutan van Batavia);
2.
Hukum Belanda yang kuno
3.
Asas-asas
hukum Romawi.
Belanda
memperkenalkan dan memberlakukan hukum pidana tertulis dalam bentuk kodifikasi.
De Bataviasche Statuten tahun 1642
dan Interimaire Strafbepalingen tahun
1848merupakan dua peraturan pidana tertulis pertama yang diterapkan oleh
Belanda walaupun dalam bentuknya yang sederhana, yang memuat aturan pidana yang
berlaku bagi orang Eropa. Kedua peratueran itu masih mengandung asas hukum
Belanda kuno dan hukum Romawi.
Sebagaimana
diketahui VOC dibubarkan tahun 1798. Pemerintahan atas daerah bekas VOC
dilakukan oleh suatu Raad Van Aziatische
Bezittingen en Establissementen, disingkat dengan Aziatische Raad, yang mulai dengan pekerjaannya pada tanggal 1
Januari 1800.
Pada tanggal 27
September 1804 bPemerintah Bataafsche Republik mengesahkan suatu charter voor de azizatische bezittingen van
de Bataafsche Republik. Menurut Supomo dan Jokosutono bahwa : Rancangan
dari charter ini adalah pikiran dari
panitia yang dilangsungkan pada tanggal 11 November 1802. Di dalam panitia ini
terdapatlah dua aliran-aliran yang tidak suka pada “perubahan” dan aliran yang
suka pada “perubahan”. Akibat dari pertemuan di antara dua aliran ini adalah
suatu keukunan.
Perubahan
penting terhadap hukum pidana, khususnya mengenai sistem hukuman, diadakan
setelah Deandles diangkat menjadi Gubernur jendral dan tiba di Indonesia pada
tahun 1808. Pada tahun 1810 atas pemerintahan Daendles dibuat suatu peraturan
mengenai hukum dan peradilan. Bagi golongan Eropa berlaku statutabetawi baru,
sedangkan bagi golongan pribumi berlaku hukum adatnya. Tetapi, gubernur jendral
berhak mengubah sistem hukuman menurut hukum adat bilamana :
a.
Hukuman
dianggap tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.
b.
Hukum
adat tidak dapat menyelesaikan suatu perkara.
Menurut plakat
tanggal 22 April 1808, maka pengadilan diperkenankan menjatuhkan hukuman :
a.
Dibakar
hidup terikat pada suatu tiang
b.
Dibunuh
dengan menggunakan sebilah keris
c.
Dicap
bakar
d.
Dipukul
e.
Dipukul
dengan rantai
f.
Ditahan
ke dalam penjara
g.
Bekerja
paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum
Akhirnya hukum
pidana dapat menyimpang dari hukum pidana adat dalam hal-hal sebagai berikut :
1.
Apabila
hukum pidana adat dapat dijalankan terhadap orang yang melakukan suatu delik,
sedangkan berdasarkan keyakinan hukum positif harus diberi sanksi hukuman.
2.
Apabila
hukum yang dijatuhkan menurut hukum pidana adat terlalu ringan atau terlalu
berat, sehingga tidak sesuai dengan keadilan.
3.
Apabila
alat-alat pembuktian menurut hukum adat kurang cukup, sehingga tidak dapat meyakinkan
hakim akan salah tidaknya perbuatan terdakwa.
Sebagian ahli
hukum berpendapat, bahwa alasannya bukan karena hukum adat itu tidak cukup baik
untuk orang Eropa, akan tetapi sejak zaman VOC telah terkandung niat dalam
politik hukum orang Belanda; Apakah tidak lebih baik apabila orang pribumi pun
ditundukkan pada hukum Belanda?
Pada
zaman kependudukan Inggris , yang
menjadi penguasa terpenting ialah Sir
Thomas Stanford Raffles . Pemerintah Inggris mengadakan perubahan atas
hukum positif. Perubahan yang besar adalah atas hukum acara dan susunan
pengadilan. Hukum materiil bagi orang Eropa tetap hukum statuta.
Berdasarkan
konfensi London tertanggal 13 Agustus 1814 , maka bekas koloni Belanda
dikembalikan kepada pemerintah Belanda. Kepada komisaris jendral diberi suatu
instruksi tanggal 3 januari 1815.
Sejak kembalinya
kekuasaan Belanda di Indonesia pada tahun 1815 , maka pada waktu itu tetap ada
keinginan untuk mengadakan suatu kodifikasi. Tugas membuat kodifikasi tersebut
baru dapat diselesaikan pada tahun 1848 oleh Scholten van Oud Haarlem dan
Wichers. Tetapi hukum pidana tidak termasuk kodifikasi tahun 1848. Untuk hukum
pidana tetap berlaku keadaan pada waktu sebelum tahun 1848. Selanjutnya pada
tahun 1848 dibuat peraturan hukum pidana, yang terkenal dengan nama Intermaire Strafbapalingen, LNHB 1848
No. 6. Sampai tahun 1867 dan tahun 1873 mengenai hukum pidana tertulis berlaku
:
Primer : hukum yang terdapat dalam
statuta Betawi
Sekunder : hukum Belanda yang kuno
Lebih
sekunder : asas-asas hukum Romawi
Lebih sekunder
lagi: apa yang disebut oleh Kolonial
Verslag tahun 1849
Kodifikasi dalam
arti sebenarnya , yaitu pembukaan segala peraturan hukum pidana, barulah
dikenal tahun 1886. Melalui Staatsblad 1886/No.55
pemerintah Hindia Belandadi Indonesia mulai memperkenalkan bentuk dan sistem
hukum pidana kodifikatif kepada bangsa Indonesia, yakni dengan diberlakukannya Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (W.v.S.E).
W.v.S.E sendiri diperumtukkan bagi orang Eropa yang tinggal di Indonesia.
Sedangkan untuk golongan penduduk yang lain seperti Timur Asing dan Pribumi,
masih menggunakan hukum pidana adat dari masing-masing golongan.
Tahun
1872 Belanda memberlakukan het Wetboek
van Strafrecht voor Inlanders en daarmede Gelijkstelden (W.v.S.N.I) yang
termuat dalam Ordonantie tanggal 6 Mei 1872. KUHP ini diperuntukkan
bagi orang-orang Indonesia dan orang Timur Asing serta berlaku tanggal 1
Januari 1873. Dengan berlakunya W.v.S.N.I, maka eksistensi hukum pidana adat
yang tidak tertulis tidak diakui sehingga semua jenis pelanggaran yang
dilakukan baik oleh orang-orang Indonesia maupun orang Timur Asing mengacu pada
W.v.S.N.I . Dengan demikian, pada waktu itu terdapat dua KUHP yang diberlakukan,
yaitu Wetboek van Strafrecht voor
Europeanen yang diperuntukkan bagi orang Eroipa dan het Wetboek van Strafrecht voor Inlanders en daarmede Gelijkstelden yang
diperuntukkan bagi orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing.
Berlakunya dua
aturan tersebut menimbulkan dua konsekuensi. Pertama, terjadinya dualisme hukum dalam hal berlakunya KUHP di
Indonesia sejak tahun 1872. Kedua, aturan
hukum pidana yang lama yaitu tahun 1642
dan tahun 1848 tidak berlaku lagi. Demikian pula hukum pidan aadat yang berlaku
di daerah-daerah yang dijajah dihapuskan dan semua orang-orang Indonesia tunduk
pada satu KUHP saja, kecuali daerah swapraja.
Dualisme hukum
tersebut baru berakhir pada tahun 1915 , yaitu saat pemerintahan Kerajaan
Belanda yang membawahi langsung pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia
memberlakukan Staatblad 1915 /No.
732. Staatblad ini berlaku di
Indonesia berdasarkan Surat Keputisan Ratu Belanda yang diberi nama Koninklijk Besluit van Strafrecht voor
Nederlandsch Indie, dan karena beberapa penyempurnaan baru efektif tahun
1918. Sejak saat itu, W.v.S.N.E dan W.v.S.N.I akhirnya menjadi terhapus.
Dengan kata
lain, sejak berlakunya W.v.S.N.I pada tahun 1918 di Indonesia telah terjadi
suatu unifikasi hukum pidana. Dilihat dari substansinya, W.v.S.N.I sendiri
merupakan turunan dari KUHP Belanda yang dibuat tahun 1881 , walaupun tidak
sama persis.
KUHP Belanda
merupakan turunan dari Code Penal Prancis
karena Belanda pernah dijajah oleh Prancis mulai tahun 1811 sampai tahun 1813 ketika
Napoleon Bonaparte menjadi raja Prancis. Setelah itu Belanda mengusahakan
membentuk Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Nasional, namun mengalami
kegagalan. Kemudian Belanda berhasil membentuk KUHP Nasional yang
menggantikan Code Penal dan dinyatakan
berlaku tahun 1886 dengan nama Wetboek
van Strafrecht . Code Penal Prancis sendiri digunakan sebagai Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana di Belanda selama 75 tahun.
Saat Jepang
menjajah Indonesia keberadaan W.v.S.N.I yang berlaku secara efektif tahun 1918
tetap diberlakukan oleh pemerintah Jepang dengan mengeluarkan Peraturan yang
menetapkan bahwa S.1915 Nomor 732 atau W.v.S.N.I dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 3 UU No. 1 Pemerintah Jepang menyatakan bahwa semua undang-undang dan
peraturan-peraturan dari pemerintah Hindia Belanda tetap berlaku , selama tidak
bertentangan dengan peraturan pemerintah Tentara Jepang. Oleh Jepang W.v.S.N.I
disebut dengan Too Indo Keihoo.
Sejarah Hukum Pidana Pasca Masa
Kemerdekaan
Setelah Indonesia menjadi negara yang
merdeka dan berdaulat W.v.S.N.I masih tetap berlaku berdasarkan Pasal II aturan
Peralihan dari Undang-undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada
masih berlangsung selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar
ini”. Dengan adanya aturan peralihan ini, maka pada tanggal 10 Oktober 1945
Presiden mengeluarkan Peraturan No. 2 yang isinya antara lain :
“segala
badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-undang Dasar masih berlaku , asal saja tidak bertentangan
dengan undang-undang dasar tersebut.”
Dengan
demikian, eksistensi W.v.S.N.I masih tetap berlaku sebagai Kitab Undang-undang
Pidana Indonesia . Pada tahun 1946 tentang Peraturan hukum pidana secara
eksplisit dimaksudkan untuk memberlakukan W.v.S.N.I.
Selain
itu, terdapat beberapa pasal yang penting untuk diperhatikan yaitu Pasal V,
Pasal VI, Pasal VIII Pasal IX dan Pasal
XVI. Pasal V berisi ketentuan bahwa peraturan hukumpidana yang seluruhnya atau
sebagian sekarag tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengankedudukan
indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap
tidak berlaku. Pasal VI mengubah secara resmi nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie dengan Wetboek van Strafrecht saja atau yang
biasa diterjemahkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal VIII memuat
perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Sedangkan pasal IX sampai dengan pasal XVI berisi penciptaan delik-delik baru.
Pembentukan
UU No. 1 tahun 1946 didasarkan pada dua tujuan penting.
Pertama, hukum pidana yang diberlakukan
pada masa penjajahan Jepang mengandung beberapa kelemahan. Pertama, pada masa
penjajahan Jepang wilayah Indonesia dibagi dalam tiga bagian yang masing-masing
ditempatkan di bawah pemerintah tersendiri. Dengan pembagian tersebut, dengan
sendirinya terdapat banyak perbedaan dalam peraturan hukum pidana yang berlaku
di masing-masing bagian. Kedua, adanya dua macam peraturan hukum pidana yang
berbeda sistem dan asas-asas umumnya yang berlaku diwilayah yang sama dan untuk
orang-orang yang sama. Ketiga, hukum pidana Jepang dianggap sebagai hukum yang
memaksa para hakim untuk menjatuhkan pidana yang tidak seimbang dengan
kesalahan seseorang.
Kedua, mengadakan unifikasi hukum di
lapangan hukum pidana, karena setelah negara Indonesia merdeka tanggal 17
Agustus 1945, pemerintah Indonesia mengalami kesulitan-kesulitan untuk
menentukan peraturan-peraturan manakah yang masih berlaku lagi karena
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, serta yang terpenting lagi adalah
mengingat saat itu telah terjadi dualisme hukum di lapangan hukum pidana.
Sejak
berlakunya UU No. 1 tahun 1946 pada dasarnya mengulang kembali terjadi dualisme
hukum pidana di Indonesia seperti yang pernah terjadi sebelum tahun 1918, yaitu
dengan berlakunya Wetboek van Strafrecht
voor Europeanen 1886 yang diperuntukkan bagi orang Eropa dan het Wetboek van Strafrecht voor Inlanders en
daarmede Gelijkstelden 1872 yang diperuntukkan bagi orang-orang Indonesia
dan orang-orang Timur Asing.
Dualisme
hukum pidana tersebut baru berakhir pada tanggal 29 September 1958 dengan diundangkannya
Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang pernyataan Berlakunya Undang-undang
Nomor 1 tahun 1946 sebagai peraturan hukum pidan untuk seluruh wilayah Republik
Indonesia dan undang-undang tersebut sekaligus merubah Kitab Undang-undang
Hukum Pidana.
Undang-undang
Nomor 73 tahun 1958 merupakan realisasi atas kesepakatan Konferensi Meja Bundar
di Den Haag Belanda tahun 1948 . berdasarkan konferesnsi tersebut, seluruh
wilayah Indonesia bekas Hindia Belanda dikembalikan kepada negara kesatuan
Republik Indonesia. Sejak saat itu, wilayah-wilayah Indonesia bekas Hindia
Belanda yang tadinya tidak tergabung dengan NKRI dan memiliki KUHP sendiri,
telah menjadi bagian Integral dari NKRI. Oleh karena itu, KUHP di wilayang ini
pun harus mengikuti KUHP yang secara resmi berlakau di NKRI, yakni W.v.S.N.I.
Namun, karena berlakunya W.v.S.N.I terlanjur dibatasi sendiri oleh ketentuan
Pasal XVII UU No. 1 Tahun 1946, maka
pemberlakuan W.v.S.N.I di wilayah-wilayah yang baru bergabung dalam NKRI atas dasar KMB Den Haag tersebut,
perlu dibuatkan dasar peraturannya. Dalam konteks inilah, maka lahir UU No. 73
Tahun 1958 yang sebagian substansinya merevisi UU No.1 tahun 1946 khususnya
Pasal XVII.
DAFTAR
PUSTAKA
Mahrus Ali, S.H., M.H.. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana. Cetakan
Kedua.
Jakarta:
Sinar Grafika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar