Senin, 24 Februari 2014


 

 

SEJARAH HUKUM PIDANA DI INDONESIA

 

 

Semua hukum pidana yang berlaku bagi penduduk asli indonesia, adalah hukum pidana adat walaupun hukum pidana adat ini disana sini sangat dipengaruhi oleh hukum Islam namun sebagian besar masih bersifat asli. Pentingnya pelajaran hukum pidana adat itu rupanya akan hanya ada bagi ilmu hukum saja.

Sejarah hukum tertulis dimulai dengan waktu kedatangan orang Belanda yang pertama di Indonesia. Secara sosio-historis eksistensi hukum pidana tertulis merupakan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Kondisi dan bentuk utama indonesia pada waktu itu adalah hukum pidana adat yang sebagian besar tidak tertulis yang beraneka ragam dan berlaku di masing-masing kerajaan yang ada di Indonesia.

Maka, hukum yang berlaku di indonesia waktu itu yang berlaku bagi orang Belanda di Indonesia sebanyak mungkin disamakan dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda. Asas konkordansi itu senantiasa dipegang teguh selama orang Belanda itu menguasai perundang-undangan di Indonesia (pasal 131 ayat (2) sub a. IS). Jadi sejak permulaan, hukum pidana tertulis yang berlaku bagi orang Belanda dikonkordasi dengan hukum pidana yang berlaku di negeri Belanda.  

Hukum yang berlaku bagi orang Belanda di pusat-pusat dagang VOC yang pertama disini adalah hukum yang dijalankan diatas kapal-kapal VOC. Hukum kapal itu terdiri atas dua bagian : Hukum Belanda yang kuno ditambah dengan asas-asas hukum Romawi. Bagian terbesar hukum kapal tersebut adalah hukum disiplin. Hukum yang berlaku didaerah yang dikuasai VOC terdiri dari : (E. Utrecht:1965).

1.      Hukum Statuta (yang termuat dalam Statutan van Batavia);

2.      Hukum  Belanda yang kuno

3.      Asas-asas hukum Romawi.

Belanda memperkenalkan dan memberlakukan hukum pidana tertulis dalam bentuk kodifikasi. De Bataviasche Statuten tahun 1642 dan Interimaire Strafbepalingen tahun 1848merupakan dua peraturan pidana tertulis pertama yang diterapkan oleh Belanda walaupun dalam bentuknya yang sederhana, yang memuat aturan pidana yang berlaku bagi orang Eropa. Kedua peratueran itu masih mengandung asas hukum Belanda kuno dan hukum Romawi.

Sebagaimana diketahui VOC dibubarkan tahun 1798. Pemerintahan atas daerah bekas VOC dilakukan oleh suatu Raad Van Aziatische Bezittingen en Establissementen, disingkat dengan Aziatische Raad, yang mulai dengan pekerjaannya pada tanggal 1 Januari 1800.

Pada tanggal 27 September 1804 bPemerintah Bataafsche Republik mengesahkan suatu charter voor de azizatische bezittingen van de Bataafsche Republik. Menurut Supomo dan Jokosutono bahwa : Rancangan dari charter ini adalah pikiran dari panitia yang dilangsungkan pada tanggal 11 November 1802. Di dalam panitia ini terdapatlah dua aliran-aliran yang tidak suka pada “perubahan” dan aliran yang suka pada “perubahan”. Akibat dari pertemuan di antara dua aliran ini adalah suatu keukunan.

Perubahan penting terhadap hukum pidana, khususnya mengenai sistem hukuman, diadakan setelah Deandles diangkat menjadi Gubernur jendral dan tiba di Indonesia pada tahun 1808. Pada tahun 1810 atas pemerintahan Daendles dibuat suatu peraturan mengenai hukum dan peradilan. Bagi golongan Eropa berlaku statutabetawi baru, sedangkan bagi golongan pribumi berlaku hukum adatnya. Tetapi, gubernur jendral berhak mengubah sistem hukuman menurut hukum adat bilamana :

a.       Hukuman dianggap tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.

b.      Hukum adat tidak dapat menyelesaikan suatu perkara.

Menurut plakat tanggal 22 April 1808, maka pengadilan diperkenankan menjatuhkan hukuman :

a.       Dibakar hidup terikat pada suatu tiang

b.      Dibunuh dengan menggunakan sebilah keris

c.       Dicap bakar

d.      Dipukul

e.       Dipukul dengan rantai

f.       Ditahan ke dalam penjara

g.      Bekerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum

Akhirnya hukum pidana dapat menyimpang dari hukum pidana adat dalam hal-hal sebagai berikut :

1.      Apabila hukum pidana adat dapat dijalankan terhadap orang yang melakukan suatu delik, sedangkan berdasarkan keyakinan hukum positif harus diberi sanksi hukuman.

2.      Apabila hukum yang dijatuhkan menurut hukum pidana adat terlalu ringan atau terlalu berat, sehingga tidak sesuai dengan keadilan.

3.      Apabila alat-alat pembuktian menurut hukum adat kurang cukup, sehingga tidak dapat meyakinkan hakim akan salah tidaknya perbuatan terdakwa.

Sebagian ahli hukum berpendapat, bahwa alasannya bukan karena hukum adat itu tidak cukup baik untuk orang Eropa, akan tetapi sejak zaman VOC telah terkandung niat dalam politik hukum orang Belanda; Apakah tidak lebih baik apabila orang pribumi pun ditundukkan pada hukum Belanda?

            Pada zaman kependudukan Inggris ,  yang menjadi penguasa terpenting ialah Sir Thomas Stanford Raffles . Pemerintah Inggris mengadakan perubahan atas hukum positif. Perubahan yang besar adalah atas hukum acara dan susunan pengadilan. Hukum materiil bagi orang Eropa tetap hukum statuta.

Berdasarkan konfensi London tertanggal 13 Agustus 1814 , maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada pemerintah Belanda. Kepada komisaris jendral diberi suatu instruksi tanggal 3 januari 1815.

Sejak kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia pada tahun 1815 , maka pada waktu itu tetap ada keinginan untuk mengadakan suatu kodifikasi. Tugas membuat kodifikasi tersebut baru dapat diselesaikan pada tahun 1848 oleh Scholten van Oud Haarlem dan Wichers. Tetapi hukum pidana tidak termasuk kodifikasi tahun 1848. Untuk hukum pidana tetap berlaku keadaan pada waktu sebelum tahun 1848. Selanjutnya pada tahun 1848 dibuat peraturan hukum pidana, yang terkenal dengan nama Intermaire Strafbapalingen, LNHB 1848 No. 6. Sampai tahun 1867 dan tahun 1873 mengenai hukum pidana tertulis berlaku :

Primer              : hukum yang terdapat dalam statuta Betawi

Sekunder         : hukum Belanda yang kuno

Lebih sekunder      : asas-asas hukum Romawi

Lebih sekunder lagi: apa yang disebut oleh Kolonial Verslag  tahun 1849

Kodifikasi dalam arti sebenarnya , yaitu pembukaan segala peraturan hukum pidana, barulah dikenal tahun 1886. Melalui Staatsblad 1886/No.55 pemerintah Hindia Belandadi Indonesia mulai memperkenalkan bentuk dan sistem hukum pidana kodifikatif kepada bangsa Indonesia, yakni dengan diberlakukannya Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (W.v.S.E). W.v.S.E sendiri diperumtukkan bagi orang Eropa yang tinggal di Indonesia. Sedangkan untuk golongan penduduk yang lain seperti Timur Asing dan Pribumi, masih menggunakan hukum pidana adat dari masing-masing golongan.

            Tahun 1872 Belanda memberlakukan het Wetboek van Strafrecht voor Inlanders en daarmede Gelijkstelden (W.v.S.N.I) yang termuat dalam Ordonantie  tanggal 6 Mei 1872. KUHP ini diperuntukkan bagi orang-orang Indonesia dan orang Timur Asing serta berlaku tanggal 1 Januari 1873. Dengan berlakunya W.v.S.N.I, maka eksistensi hukum pidana adat yang tidak tertulis tidak diakui sehingga semua jenis pelanggaran yang dilakukan baik oleh orang-orang Indonesia maupun orang Timur Asing mengacu pada W.v.S.N.I . Dengan demikian, pada waktu itu terdapat dua KUHP yang diberlakukan, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Europeanen yang diperuntukkan bagi orang Eroipa dan het Wetboek van Strafrecht voor Inlanders en daarmede Gelijkstelden yang diperuntukkan bagi orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing.

Berlakunya dua aturan tersebut menimbulkan dua konsekuensi. Pertama, terjadinya dualisme hukum dalam hal berlakunya KUHP di Indonesia sejak tahun 1872. Kedua, aturan hukum pidana yang lama  yaitu tahun 1642 dan tahun 1848 tidak berlaku lagi. Demikian pula hukum pidan aadat yang berlaku di daerah-daerah yang dijajah dihapuskan dan semua orang-orang Indonesia tunduk pada satu KUHP saja, kecuali daerah swapraja.

Dualisme hukum tersebut baru berakhir pada tahun 1915 , yaitu saat pemerintahan Kerajaan Belanda yang membawahi langsung pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia memberlakukan Staatblad 1915 /No. 732. Staatblad ini berlaku di Indonesia berdasarkan Surat Keputisan Ratu Belanda yang diberi nama Koninklijk Besluit van Strafrecht voor Nederlandsch Indie, dan karena beberapa penyempurnaan baru efektif tahun 1918. Sejak saat itu, W.v.S.N.E dan W.v.S.N.I akhirnya menjadi terhapus.

Dengan kata lain, sejak berlakunya W.v.S.N.I pada tahun 1918 di Indonesia telah terjadi suatu unifikasi hukum pidana. Dilihat dari substansinya, W.v.S.N.I sendiri merupakan turunan dari KUHP Belanda yang dibuat tahun 1881 , walaupun tidak sama persis.

KUHP Belanda merupakan turunan dari Code Penal Prancis karena Belanda pernah dijajah oleh Prancis mulai tahun 1811 sampai tahun 1813 ketika Napoleon Bonaparte menjadi raja Prancis. Setelah itu Belanda mengusahakan membentuk Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Nasional, namun mengalami kegagalan. Kemudian Belanda berhasil membentuk KUHP Nasional yang menggantikan  Code Penal  dan dinyatakan berlaku tahun 1886 dengan nama Wetboek van Strafrecht  . Code Penal  Prancis sendiri digunakan sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Belanda selama 75 tahun.

Saat Jepang menjajah Indonesia keberadaan W.v.S.N.I yang berlaku secara efektif tahun 1918 tetap diberlakukan oleh pemerintah Jepang dengan mengeluarkan Peraturan yang menetapkan bahwa S.1915 Nomor 732 atau W.v.S.N.I dinyatakan tetap berlaku. Pasal 3 UU No. 1 Pemerintah Jepang menyatakan bahwa semua undang-undang dan peraturan-peraturan dari pemerintah Hindia Belanda tetap berlaku , selama tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah Tentara Jepang. Oleh Jepang W.v.S.N.I disebut dengan Too Indo Keihoo.

 

Sejarah Hukum Pidana Pasca Masa Kemerdekaan

Setelah Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat W.v.S.N.I masih tetap berlaku berdasarkan Pasal II aturan Peralihan dari Undang-undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlangsung selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”. Dengan adanya aturan peralihan ini, maka pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden mengeluarkan Peraturan No. 2 yang isinya antara lain :

            “segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar masih berlaku , asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang dasar tersebut.”

            Dengan demikian, eksistensi W.v.S.N.I masih tetap berlaku sebagai Kitab Undang-undang Pidana Indonesia . Pada tahun 1946 tentang Peraturan hukum pidana secara eksplisit dimaksudkan untuk memberlakukan W.v.S.N.I.

            Selain itu, terdapat beberapa pasal yang penting untuk diperhatikan yaitu Pasal V, Pasal VI, Pasal VIII  Pasal IX dan Pasal XVI. Pasal V berisi ketentuan bahwa peraturan hukumpidana yang seluruhnya atau sebagian sekarag tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengankedudukan indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak berlaku. Pasal VI mengubah secara resmi nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie dengan Wetboek van Strafrecht saja atau yang biasa diterjemahkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal VIII memuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sedangkan pasal IX sampai dengan pasal XVI  berisi penciptaan delik-delik baru.

            Pembentukan UU No. 1 tahun 1946 didasarkan pada dua tujuan penting.

            Pertama, hukum pidana yang diberlakukan pada masa penjajahan Jepang mengandung beberapa kelemahan. Pertama, pada masa penjajahan Jepang wilayah Indonesia dibagi dalam tiga bagian yang masing-masing ditempatkan di bawah pemerintah tersendiri. Dengan pembagian tersebut, dengan sendirinya terdapat banyak perbedaan dalam peraturan hukum pidana yang berlaku di masing-masing bagian. Kedua, adanya dua macam peraturan hukum pidana yang berbeda sistem dan asas-asas umumnya yang berlaku diwilayah yang sama dan untuk orang-orang yang sama. Ketiga, hukum pidana Jepang dianggap sebagai hukum yang memaksa para hakim untuk menjatuhkan pidana yang tidak seimbang dengan kesalahan seseorang.

            Kedua, mengadakan unifikasi hukum di lapangan hukum pidana, karena setelah negara Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia mengalami kesulitan-kesulitan untuk menentukan peraturan-peraturan manakah yang masih berlaku lagi karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, serta yang terpenting lagi adalah mengingat saat itu telah terjadi dualisme hukum di lapangan hukum pidana.

            Sejak berlakunya UU No. 1 tahun 1946 pada dasarnya mengulang kembali terjadi dualisme hukum pidana di Indonesia seperti yang pernah terjadi sebelum tahun 1918, yaitu dengan berlakunya Wetboek van Strafrecht voor Europeanen 1886 yang diperuntukkan bagi orang Eropa dan het Wetboek van Strafrecht voor Inlanders en daarmede Gelijkstelden 1872 yang diperuntukkan bagi orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing.

            Dualisme hukum pidana tersebut baru berakhir pada tanggal 29 September 1958 dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 sebagai peraturan hukum pidan untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan undang-undang tersebut sekaligus merubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

            Undang-undang Nomor 73 tahun 1958 merupakan realisasi atas kesepakatan Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda tahun 1948 . berdasarkan konferesnsi tersebut, seluruh wilayah Indonesia bekas Hindia Belanda dikembalikan kepada negara kesatuan Republik Indonesia. Sejak saat itu, wilayah-wilayah Indonesia bekas Hindia Belanda yang tadinya tidak tergabung dengan NKRI dan memiliki KUHP sendiri, telah menjadi bagian Integral dari NKRI. Oleh karena itu, KUHP di wilayang ini pun harus mengikuti KUHP yang secara resmi berlakau di NKRI, yakni W.v.S.N.I. Namun, karena berlakunya W.v.S.N.I terlanjur dibatasi sendiri oleh ketentuan Pasal XVII UU No. 1 Tahun  1946, maka pemberlakuan W.v.S.N.I di wilayah-wilayah yang baru  bergabung dalam NKRI atas dasar KMB Den Haag tersebut, perlu dibuatkan dasar peraturannya. Dalam konteks inilah, maka lahir UU No. 73 Tahun 1958 yang sebagian substansinya merevisi UU No.1 tahun 1946 khususnya Pasal XVII.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Mahrus Ali, S.H., M.H.. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana. Cetakan Kedua.

            Jakarta: Sinar Grafika.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar